PANGANDARAN, serga.id — Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Pangandaran, Jeje Wiradinata, mendesak pemerintah provinsi dan pusat untuk segera mengevaluasi penerbitan izin keramba jaring apung (KJA) yang berlokasi di perairan Pantai Timur Pangandaran. Ia menilai izin tersebut terbit tanpa melalui proses konsultasi publik yang melibatkan pemangku kepentingan daerah, khususnya organisasi nelayan.
Desakan ini disampaikan Jeje saat menghadiri forum diskusi dan pengumpulan data pemanfaatan ruang laut yang digelar oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Rabu (6/8/2025), di Pangandaran. Acara tersebut turut dihadiri tokoh nasional di bidang kelautan seperti mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, Dekan Fakultas Perikanan Universitas Padjadjaran, serta unsur akademisi, praktisi, dan perwakilan dari sektor wisata serta pelaku usaha perikanan.
Menurut Jeje, HNSI Pangandaran sejak awal tidak pernah diberi ruang untuk menyampaikan pandangan terkait pembangunan keramba jaring apung tersebut. Padahal, wilayah laut yang digunakan berada dalam kawasan vital yang menopang aktivitas ekonomi masyarakat, baik dari sektor perikanan tangkap maupun pariwisata bahari.
“Saya bilang harusnya sebelum izin terbit, diadakan diskusi seperti ini. Tapi kenyataannya kami tidak pernah dilibatkan. Ini menciderai prinsip tata kelola yang transparan dan partisipatif,” tegas Jeje kepada awak media.
Ia juga menggarisbawahi bahwa meskipun kewenangan pengelolaan ruang laut 0 hingga 12 mil berada di bawah otoritas provinsi, bukan berarti daerah tidak perlu diajak berdiskusi. “Kalau nanti ada dampak lingkungan, konflik sosial, atau kerusakan ekosistem, yang menanggung adalah kami di daerah. Maka seharusnya semua kebijakan menyangkut ruang laut tetap dikonsultasikan dengan masyarakat lokal,” ujarnya.
Jeje menjelaskan bahwa kawasan Pantai Timur Pangandaran memiliki peran penting dalam mendukung sektor pariwisata, khususnya wisata air dan olahraga laut (water sport). Selama ini, kawasan tersebut telah dikenal sebagai lokasi favorit bagi wisatawan untuk menikmati aktivitas seperti banana boat, jetski, hingga perahu pesiar.
Namun, keberadaan keramba jaring apung yang dibangun di tengah area laut seluas kurang lebih 3 hektar, hanya sekitar 200 meter dari bibir pantai, dinilai mengganggu visual dan akses wisata yang sudah tertata.
“Kita punya dua pantai utama, Pantai Barat untuk wisata keluarga dan bahari seperti surfing, snorkeling, dan perahu pesiar. Sedangkan Pantai Timur kita dorong sebagai pusat aktivitas water sport. Itu ikon Pangandaran. Kalau kemudian ada KJA berdiri di tengah-tengahnya, tentu akan mengganggu,” ujarnya.
Selain dari aspek sosial dan ekonomi, Jeje juga menyoroti aspek legal dari keberadaan KJA tersebut. Ia menegaskan bahwa terdapat aturan yang mengatur tentang pemanfaatan ruang laut melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, yang seharusnya menjadi rujukan sebelum menerbitkan izin.
“Ada zonasi yang mengatur mana wilayah budidaya, mana untuk tangkap, mana untuk konservasi, mana untuk pariwisata. Kalau aturan ini dilanggar, maka ruang laut bisa jadi rebutan dan sumber konflik,” ujar Jeje.
Ia mempertanyakan dasar penerbitan izin oleh pemerintah provinsi yang dinilainya tidak sesuai dengan rencana tata ruang laut yang sudah ada.
Sebagai langkah tegas, Jeje bersama HNSI menyatakan menolak keberadaan KJA tersebut dan meminta agar izin yang sudah terbit segera dievaluasi. Ia juga mengisyaratkan perlunya moratorium untuk seluruh perizinan baru di wilayah perairan Pangandaran sampai ada penataan ulang yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.
“Saya menolak, kami semua nelayan menolak. Kita minta ke provinsi untuk evaluasi menyeluruh. Karena 0 sampai 12 mil itu kewenangan provinsi. Saya sudah sampaikan langsung ke Ibu Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat. Sekarang bolanya ada di sana, kita tunggu hasilnya dalam satu minggu ke depan,” pungkasnya.
Sorotan terhadap keberadaan KJA di Pantai Timur juga memicu reaksi dari pelaku wisata setempat dan warga yang selama ini menggantungkan hidup pada aktivitas laut. Mereka khawatir pembangunan keramba di lokasi strategis akan memicu konflik ruang, polusi, dan menurunkan daya tarik wisatawan.
Berita ini akan terus diperbarui seiring perkembangan dari proses evaluasi izin KJA di wilayah Pangandaran dan sikap resmi pemerintah provinsi dalam merespons desakan dari masyarakat pesisir. (Hrs)