PANGANDARAN, serga.id – Badan Pimpinan Cabang (BPC) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Pangandaran menggelar rapat kerja (raker) pada Senin malam, 28 Juli 2025, di Hotel Grand Palma. Kegiatan yang dimulai pukul 19.00 WIB ini membahas berbagai isu krusial yang dihadapi pelaku usaha perhotelan dan restoran, khususnya terkait regulasi perizinan dan potensi konflik pemanfaatan ruang di kawasan wisata.
Rapat kerja dipimpin langsung oleh Ketua BPC PHRI Pangandaran, Agus Mulyana, ST, dan dihadiri oleh jajaran pengurus serta anggota PHRI. Dalam forum tersebut, dua isu utama yang disoroti adalah persoalan izin Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), Analisis Dampak Lalu Lintas (Amdal Lalin), serta pembangunan keramba jaring apung di kawasan wisata Pantai Timur.
Agus Mulyana menyoroti belum adanya sistem perizinan terpadu yang memadai, yang membuat pelaku usaha kerap kesulitan memahami dan memenuhi kewajiban administratif. Ia menyebut tumpang tindih regulasi serta minimnya sosialisasi sebagai kendala utama.
“Kami mendorong penyederhanaan dan kejelasan proses perizinan. IPAL dan Amdal Lalin adalah bentuk komitmen kami terhadap lingkungan dan keselamatan, tapi harus didukung sistem yang tidak membebani,” ujar Agus.
Selain itu, PHRI Pangandaran juga menyampaikan keprihatinannya atas pembangunan keramba jaring apung yang berjarak hanya sekitar 9 meter dari garis pantai, tepat di zona wisata aktif. Lokasi tersebut dinilai tidak ideal karena berpotensi mengganggu aktivitas rekreasi, membahayakan lalu lintas perahu nelayan dan wisatawan, serta mencemari lingkungan laut.
“Pembangunan keramba ini belum melalui kajian perizinan yang komprehensif, baik dari segi lokasi, dampak lingkungan, maupun potensi konflik sosial. Kami menilai perlu ada peninjauan ulang secara menyeluruh,” tambah Agus.
Wakil Ketua BPC PHRI Pangandaran, Suryanati, turut menekankan bahwa keberadaan keramba di zona wisata dapat menurunkan daya tarik destinasi dan memperbesar risiko gesekan antar pemangku kepentingan.
“Letaknya terlalu dekat dari pantai dan berada di area strategis wisata. Ini bukan hanya menurunkan estetika pantai, tapi juga membahayakan keberlanjutan ekosistem dan aktivitas masyarakat pesisir,” tegas Suryanati.
Ia meminta agar pembangunan keramba jaring apung dialihkan ke zona yang lebih sesuai, seperti kawasan khusus budidaya laut atau wilayah non-wisata, dengan tetap memperhatikan aspek perizinan dan tata ruang.
Dalam raker tersebut, PHRI Pangandaran merumuskan sejumlah rekomendasi strategis yang akan disampaikan kepada pemerintah daerah dan instansi teknis terkait. Di antaranya adalah pembentukan forum dialog bersama antara pelaku usaha, nelayan, dan pemangku kepentingan lainnya guna membahas penataan ruang laut dan pengelolaan kawasan wisata secara partisipatif.
PHRI berharap melalui rapat kerja ini dapat tercipta kolaborasi lintas sektor dalam mendorong pariwisata Pangandaran yang lebih tertib, berkelanjutan, dan berkeadilan bagi seluruh pihak. (Hrs)